Brikolase.com – Perang Teluk yang terjadi tahun 1990 merupakan salah satu peristiwa yang mengguncang dunia, tidak hanya karena intensitasnya tetapi juga karena cara perang ini disampaikan kepada publik melalui media massa.
Sebagai gambaran, Perang Teluk merupakan operasi militer Irak untuk menginvasi Kuwait. Namun Irak kemudian mendapat serangan balasan dari AS dan koalisinya dan berhasil membebaskan Kuwait pada tahun 1991.
Menurut Jean Baudrillard, seorang sosiolog Prancis, apa yang terjadi di Teluk Persia bukanlah perang dalam arti tradisionalnya.
Baudrillard, dalam serangkaian esainya yang dibukukan berjudul The Gulf War Did Not Take Place, menantang pandangan umum tentang perang ini dan menyatakan bahwa apa yang kita saksikan hanyalah simulasi belaka.
Baca juga: Anomali, Singapura Bisa Maju Tanpa Demokrasi, Pakai Otoritarianisme Baik Hati
Baudrillard berpendapat bahwa Perang Teluk tidak sesuai dengan definisi klasik dari perang seperti yang dirumuskan oleh Carl von Clausewitz, yang menganggap perang sebagai kelanjutan dari politik dengan cara lain.
Sebaliknya, Baudrillard melihat perang ini sebagai sebuah “non-perang” yang lebih menyerupai eksperimen teknologi yang dikendalikan secara ketat, sebuah tontonan televisi global yang penuh delusi, dan sebuah kampanye promosi yang sudah dirancang sebelumnya.
Pfohl (1997) mengungkap bahwa Baudrillard menggambarkan perang ini sebagai proses ultra-modern yang lebih mirip dengan “electrocution” atau eksekusi melalui arus listrik daripada konflik militer yang sebenarnya.
Dalam pandangan Baudrillard, Perang Teluk adalah manifestasi dari kontrol sosial yang dilakukan melalui kebodohan kolektif dan pencegahan dari kontak “nyata” dengan sejarah.
Perang ini adalah contoh dari bagaimana teknologi informasi modern telah mengubah cara kita berinteraksi dengan realitas, di mana peristiwa nyata dibentuk ulang dan disajikan sebagai simulasi yang menggantikan kenyataan itu sendiri.
Baudrillard juga menyoroti bagaimana Perang Teluk dimanfaatkan oleh Barat, terutama Amerika Serikat, untuk memproyeksikan kekuasaan dan mengkonsolidasikan dominasi kapitalisme global.
Ia mengkritik bagaimana perang ini dipromosikan dan dikendalikan, tidak hanya sebagai upaya militer, tetapi juga sebagai bentuk kontrol budaya yang lebih dalam.
Dengan menggunakan teknologi informasi, perang ini dijadikan alat untuk menghindari konfrontasi nyata dengan sejarah dan realitas yang sebenarnya, yang menciptakan apa yang disebut Baudrillard sebagai “hyper-reality” (hiperealitas).
Apa yang kita saksikan selama Perang Teluk, menurut Baudrillard, bukanlah perang, tetapi sesuatu yang lebih menakutkan yakni simulasi perang.
Ini adalah kampanye promosi sepihak yang dirancang untuk menghindari konfrontasi dengan kekuatan-kekuatan nyata dalam sejarah.
Ia menyimpulkan bahwa konsekuensi dari perang yang tidak terjadi ini mungkin sama besar dengan peristiwa sejarah lainnya.
Dalam esainya, Baudrillard mendorong pembaca untuk menyadari dan kritis terhadap bagaimana media dan teknologi informasi digunakan untuk memanipulasi persepsi kita tentang realitas, khususnya dalam konteks perang dan konflik.
Ia memperingatkan bahwa kita semua adalah sandera dari “intoksikasi media” yang membuat kita percaya pada ilusi perang ini.
Menurut Baudrillard, tantangan besar bagi kita adalah bagaimana kita bisa melawan ilusi ini dan menghadapi kenyataan yang sebenarnya.***
Referensi
Pfohl, S., 1997, Review The Gulf War Did Not Take Place by Jean Baudrillard, Contemporary Sociology, Vol. 26, No. 2 (Mar., 1997), pp. 138-141, American Sociological Association, http://www.jstor.org/stable/2076743.
Bacaan terkait
Pemred Media Brikolase
Editor in chief
Email:
yongky@brikolase.com / yongky.g.prasisko@gmail.com