Tempat Kesedihan Perkara
Tubuhnya sudah kaku. Sebuah lubang besar di dadanya, mengeluarkan bau masa lalu. Aku bisa mengendus kepercumaan dari kepalanya yang mulai keabu-abuan dan membatu.
Lalu, kupasang garis puisi di situ.
Bertamu ke Kuburan Ayah
Aku bertamu ke kuburan ayah
Memohon doa restu
“Kemarin, kemiskinan datang ke rumah,” kataku
“Ia melamar ibu.”
Senjakala Puisi Senja
Terlalu banyak senja, membikin matanya rabun kata
Inkubus
Lelaki itu tak menjerit, meski tubuhnya digerogoti seekor cinta memahaduka yang giginya seruncing bambu cina.
Ia sudah menjahit hatinya dengan benang-benang puisi. Menahan sakit dengan rasa paling intisari dalam seember kukubima.
Dari Halte Transjakarta
Aku sedang menghayati kota dan manusia. Juga lampu-lampu neon yang bercahaya. Melintasi berabad-abad kesunyian sekuat tenaga.
Mengingat lagi beberapa nama -tak ada namamu di sana.
Seperti halnya mereka, aku tersesat entah di mana.
Bacaan terkait

Tinggal di Jakarta. Gemar menulis puisi sejak kuliah di Yogyakarta. Sebentar lagi, ia akan menerbitkan kumpulan puisi pertamanya Pendidikan Jasmani dan Kesunyian. Kontributor media Brikolase.