Puisi Fragmen Ita Yunita

AKU INGIN SESEKALI BANGUN SIANG

Sayang, besok adalah Hari Minggu
Aku ingin sesekali bangun siang
Seperti dirimu yang selalu terbangun di siang hari

Sayang, besok adalah tanggal merah di kalender
Anak-anak libur sekolah
Tolong gantikan aku dulu ya…

Pasanglah weker di malam hari
Maka saat matahari masih terlelap, alarmnya akan membangunkanmu
Pergilah ke dapur
Penuhi ceret-ceret dengan air….
Jeranglah di atas kompor

Hangatkan sayur yang tersisa tadi malam
Gorenglah empat telur mata sapi
Untukmu, aku dan dua anak kita
Peluk cium,

Istrimu, yang ingin sesekali bangun siang

 

TENTANG SEBUAH KAMAR DI RUMAH SAKIT

Ruang putih ini terbuat dari kumpulan rintih, tangis dan harapan.

Ruang putih ini menyeruakkan bau kesakitan yang teramat dalam, hingga menusuk ujung syaraf penciumanmu.

Ruang ini memenjarakan semua penghuninya, menghantarkan pada dua pilihan: hidup atau mati Kalau kau punya begitu banyak nyawa, ini hanyapersinggahan kecil bagi segala petualanganmu.

PERJALANAN TERAKHIR

Orang-orang kampung tengah menyalatkan jenazahnya, ketika aku tiba bersama suami dan kedua anakku di pagi yang mulai terik. Ia pergi di sore, pada hari sebelumnya. Aku mendapati diriku membaca pesan pendek di layar seluler saat malam telah penuh menutup hari.

Segera saat matahari masih lelap pada dini hari, kami bergegas menempuh perjalanan panjang. membelah jalan-jalan ibukota menuju tanah nun di sisi bebukitan berhalimun.

Aku hampir terlewatkan menatap wajahnya untuk yang terakhir kali. Kutekuni wajahnya yang menguning kaku, dalam ketenangan yang tak pernah kudapati sebelumnya.

Tahun-tahun terakhir di hidupnya, matahari hampir tak mampu menyentuh kulit kuning langsatnya. Wajahnya begitu cantik dengan kebersihan kulit cerah yang didapatnya dari darah marga Tan, sebuah marga dari daratan luas di utara kepulauan ini.

Usai ritual di dalam bangunan mushala, sejumlah tetua memimpin perjalanan terakhir jenazahnya dalam keranda berselimut kain hijau. Aku hanya terdiam, berjalan di samping keranda. Anak-anak berjalan bersisian bersama suamiku.

Sepanjang perjalanan menuju tanah peristirahaannya, aku hanya mampu mengenang dan mengenang segala kebersamaan kami. Hingga tanah merah memeluk tubuhnya erat tak bersisa. Aku hanya terdiam tanpa setetes air matapun jatuh di wajahku.

Aku tak mampu menitikkan air mata, semua sudah habis bertahun lalu sejak matahari tak pernah menyentuh kulitnya.Yang tersisa pada diriku hanya kenangan dan kenangan.

Kerinduan yang bersisa tak terkira banyaknya ini, hanya mampu kulimpahkan pada cermin di kamarku. Aku kerap menyambanginya pada cermin di kamar, memandang jauh ke dalam mataku…..yang serupa dengan matanya

ZIARAH BUKIT

Aku menziarahimu di atas puncak bukit ini, usai pendakian panjang yang membuat nafasku tersengal-sengal di antara halimun pagi. Kabut mendekapku sejak anak tangga pertama, udara yang hampir tak bisa kubedakan dengan hembusan nafas yang keluar dari mulut dan hidungku.

Mereka membaringkanmu di puncak bukit bersama para pendahulu. Kurasa mereka mengharapkan kau dan para pendahulu selekasnya membumbung ke langit, menemui Sang Maha. Atau karena perkampungan di kaki bukit sudah terlampau padat hingga hampir tak menyisakan sedikit ruang bagi para mendiang seperti kalian. Entahlah, aku tak hendak memikirkan alasan-alasan para tetua tentang bebukitan itu. Kau tahu, meski tersengal dan tercekat dalam nafas yang rasanya hampir tersumbat itu, aku toh menikmati pendakian itu. Rasanya, seperti menjalani sebuah ritual panjang bagi sebuah kunjungan menuju langit.

Anak tangga yang kian meninggi itu laksana jalan setapak menuju langit. Dari kaki bukit, aku hanya melihat deretan anak tangga sejauh mataku memandang, seperti tak berujung. Barulah ketika aku mencapai anak tangga teratas, seluruh penanda pembaringan terlihat berjajar membentuk ritme berulang.

Aku menziarahimu di atas puncak bukit ini dan melantunkan doa-doa berkepanjangan yang lamat-lamat kuucapkan dalam keheningan. Usai merapal kalimat-kalimat permintaan kepada Sang Maha, matahari mulai meninggi. Kabut menghilang dalam udara panas yang menyengat, membawa serta embun-embun di permukaan rerumputan.

Perlahan, kubasuh pembaringanmu dengan kesejukan air dalam botol kaca yang kebawa. Aku tahu, aliran air dingin ini laksana kesejukan semu bagimu, tapi biarkanlah aku membayangkanmu dialiri kesejukan berbau aroma mawar kampung ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *