Kebangkitan diskursus Tragedi 1965 tak dapat dipisahkan dari dua film menohok besutan Joshua Oppenheimer: Jagal (The Act of Killing) dan Senyap (The Look of Silence). Jagal berkisah tentang masa lalu seorang algojo yang menghabisi nyawa rakyat sipil pada masa 1965-1966, sementara Senyap menarasikan kehidupan satu keluarga penyintas (korban) dari tragedi tersebut. Kedua film dokumenter ini sempat membuat geger Tanah Air. Banyak yang bertepuk tangan dengan mengadakan acara nonton bareng disertai diskusi di dalam maupun di luar lingkungan kampus, tapi tak sedikit pula geram dan melarang dengan menggeruduk tempat acara yang juga terjadi di dalam maupun di luar kampus.
Beberapa waktu lalu, Kamil Alfi Arifin, salah satu kontributor media Brikolase melakukan wawancara dengan sutradara Jagal dan Senyap. Joshua tidak hanya bicara tentang film beserta pengalamannya, tapi juga tentang harapan terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi dalam hal penegakan Hak Asasi Manusia serta upaya rekonsiliasi Tragedi 1965. Redaksi Brikolase membagi wawancara tersebut menjadi dua bagian. Untuk pembaca Brikolase, berikut kutipan wawancara pertama tersebut.
Kamil Alfi Arifin (KAA): Hallo Joshua! Apa kabar? Sehat?
Joshua Oppenheimer (JO): Kabar baik. Saya sehat-sehat saja. Mudah-mudahan begitu pula dengan anda.
KAA: Saat Senyap diputar di Indonesia, banyak terjadi pelarangan di berbagai tempat. Padahal sebelumnya, anda memprediksi kemungkinan pembredelan film ini tak terlalu besar…
JO: Berbicara mengenai jumlah pembatalan pemutaran film Senyap, sebetulnya tidak banyak karena hanya ada 26 pembatalan dari 1.127 pemutaran di seluruh Indonesia antara 10 Desember 2014 sampai 10 Januari 2015. Dua puluh enam pembatalan itu sudah mencakup semua jenis pencekalan, baik yang dibatalkan oleh pihak pemilik gedung atau kampus, dibatalkan sendiri oleh panitia karena ancaman organisasi kemasyarakatan atau tekanan aparat, atau dibatalkan dengan paksa setelah dicoba diputar.
Film Senyap telah diputar lebih dari seribu kali oleh 32 provinsi di seluruh Indonesia dalam waktu satu bulan. Film ini ditonton lebih dari 50.000 orang Indonesia di 116 kota dari Aceh sampai Papua, dari Manado sampai Kupang. Ini sungguh sebuah apresiasi penonton yang luar biasa dan kerja distribusi yang baik. Kami sangat berterima kasih kepada teman-teman pendukung dan terutama atas kerja keras para penyelenggara pemutaran film Senyap.
Prediksi kami sebetulnya sama saja. Selama masih ada Lembaga Sensor Film (LSF), dan selama cara berpikirnya masih sama dengan rezim Orde Baru, tentu saja, film kami, baik Jagal maupun Senyap, berkemungkinan ditolak seluruhnya oleh LSF. Hanya saja, tingginya semangat masyarakat Indonesia dalam mengapresiasi film Senyap pada saat film ini diluncurkan, ditambah dukungan lembaga negara seperti Komisi Nasional HAM atau Dewan Kesenian Jakarta, tentu membuat kami menyetujui untuk mencoba langkah baru, mendaftarkan film ini ke LSF. Usaha ini didorong oleh sebuah harapan dengan terpilih dan naiknya Jokowi sebagai Presiden Indonesia. Ada angin perubahan yang kelihatannya cukup menyegarkan pada saat kami meluncurkan film ini 10 November 2014 silam.
KAA: Pada sebuah wawancara media Wall Street Journal, anda mengatakan film Senyap menjadi semacam “panggilan lantang” ke arah rekonsialiasi dari Tragedi 1965. Tapi, banyak lho yang mengkhawatirkan maksud baik anda. Senyap malah dianggap seperti bahan bakar bensin yang ditumpahkan pada luka lama yang belum sepenuhnya kering. Dan, anda biang dari semua itu?
JO: Saya tak pernah mendengar atau membaca pendapat yang mengatakan bahwa saya menyiramkan bensin ke dalam luka lama. Kalau saya ingin menyiramkan sesuatu, tentunya saya lebih baik menyiramkan antiseptik atau obat yang bisa membantu penyembuhan luka itu. Saya tidak paham kaitan bensin (dengan bara atau mesin) dengan luka dari masa silam.
Pendapat sejenis, yang mengatakan bahwa saya membuka luka lama, atau malah membuat luka baru dengan film, biasanya datang dari orang-orang yang terusik kekuasaan dan kenyamanan hidupnya setelah menikmati keuntungan yang diraih bersama rezim Orde Baru yang dimulai dengan pembunuhan massal 1965. Yang penting diketahui, dan ini sungguh terang bagi mereka yang mau berpikir kritis, bahwa luka itu terbuka menganga sejak dibantainya jutaan orang tak bersalah oleh rezim militer tahun 1965. Luka itu belum sembuh karena selama setengah abad bukannya diupayakan untuk diobati, luka itu justru disembunyikan. Pemerintah sepanjang rezim Orde Baru membius rakyat selama puluhan tahun agar rasa sakitnya tidak terasa.
Film Jagal dan Senyap, sejauh-jauhnya hanya bisa menyadarkan dan menunjukkan bahwa luka itu masih ada, menganga, terbuka, dan semakin lama dibiarkan semakin membusuklah ia. Lantas, tentu saja, mereka yang selama ini sudah berusaha habis-habisan menyembunyikan luka itu, serta berusaha membuat rakyat lupa terpaksa harus melakukan penyangkalan dengan menuduh sayalah yang membuka luka yang sudah sembuh itu.
Terlalu gamblang dan nyata terlihat bahwa luka itu belum pernah sembuh dan mengering seperti yang dikatakan penerus dan pendukung Orde Baru. Luka itu terjadi ketika kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan terhadap ratusan ribu sampai jutaan orang Indonesia. Bagaimana bisa luka itu sembuh ketika kejahatan terhadap kemanusiaan belum dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan? Pembunuhan massal belum diakui sebagai pembunuhan massal. Para pelaku dan mereka yang bertanggung jawab terhadap sembila (9) jenis kejahatan terhadap kemanusiaan itu belum dinyatakan sebagai penjahat kemanusiaan. Bahkan, ada yang hampir jadi pahlawan nasional. Sebagian dari mereka masih hidup sebagai tokoh masyarakat, pimpinan politik, dan bisa hidup bebas.
Sementara, para korban dan keluarganya masih mendapatkan perlakukan diskriminasi, dan distigmatisasi. Harta benda mereka yang dulu dirampas secara tidak sah belum dikembalikan. Mereka yang dipecat semena-mena belum mendapatkan pesangon, pensiun, serta rekompensasi lainnya. Pelajaran sejarah di sekolah masih menyembunyikan dan belum menyebutkan adanya peristiwa pelanggaran HAM berat dan menjelaskan duduk persoalannya kepada jutaan siswa setiap tahunnya. Pada intinya keadilan belum ditegakkan, sama sekali. Lalu bagaimana bisa dikatakan saya yang membuka luka lama atau membuat luka baru dengan film?
Rezim Orde Baru didirikan di atas pembantaian massal dan dimulai sejak luka itu ditorehkan. Luka itu masih terbuka menganga dan bernanah sampai hari ini. Rezim Orde Baru masih terus berlangsung selama luka itu masih belum disembuhkan. Karena luka itu belum diobati dan belum sembuh, rezim Orde Baru belum berakhir sampai hari ini, sekalipun pendiri dan pimpinan utamanya, Jenderal Soeharto sudah terguling dari kekuasaannya 15 tahun yang lalu.
KAA: Apa sebenarnya makna penting dari film Senyap di tengah usaha-usaha rekonsiliasi yang sudah mulai dirintis oleh beberapa pihak?
JO: Film Senyap adalah sebuah media yang bisa membantu mengingatkan masyarakat mengenai sebuah persoalan yang masih mengganggu sekalipun terjadi 50 tahun yang lalu. Film Senyap menegaskan kembali pentingnya rekonsiliasi dan sebuah jawaban optimis atas kegundahan yang mungkin muncul setelah melihat Indonesia lewat film Jagal. Senyap adalah penegasan optimisme kami mengenai rekonsiliasi. Seperti yang dikatakan oleh co-director, Anonim: rekonsiliasi adalah sebuah jalan yang berat dan sukar, tetapi bukan jalan yang tak mungkin ditempuh.
KAA: Kira-kira menurut anda, bagaimana nasib usaha rekonsialiasi pasca-film Senyap? Atau barangkali lebih tepat, bagaimana sih model rekonsiliasi yang dianggap tepat menurut anda?
JO: Bagaimana nasib usaha rekonsiliasi pasca-film Senyap? Saya tidak punya ekspektasi dan berpretensi bahwa film Senyap bisa mengubah nasib usaha rekonsiliasi yang telah dirintis oleh keluarga korban, aktivis hak asasi, dan lembaga negara seperti Komnas HAM atau LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) selama ini. Saya hanya punya harapan bahwa film Senyap, yang didistribusikan secara gratis di seluruh Indonesia bisa membantu proses rekonsiliasi itu.
Bagaimana model rekonsiliasi yang dianggap tepat menurut saya? Pertanyaan ini tidak relevan jika ditanyakan sebagai pendapat pribadi saya. Pertanyaan ini seharusnya ditanyakan kepada keluarga korban dan penyintas, model rekonsiliasi seperti apa yang dianggap tepat menurut mereka.
KAA: Film Senyap muncul di tengah-tengah kebangkitan kembali “pesona” gagasan dan gerakan kiri di Indonesia. Dan, film anda ini dianggap semakin mencerahkan pesonanya…
JO: Film Senyap dan juga film sebelumnya, Jagal, adalah dua film yang menyoroti gagasan sekaligus mempertanyakan kemanusiaan kita. Ini tidak ada urusannya dengan kiri atau kanan-nya gerakan di Indonesia. Terlebih lagi, pilihan ideologis sebuah gerakan tidak selayaknya didasarkan pada tinggi-rendahnya pesona yang dibawanya.
bersambung…
Catatan:
Wawancara ini pernah diterbitkan oleh Majalah Pranala Pusham Universitas Islam Indonesia pada edisi pertama. Diterbitkan kembali semata-mata untuk kepentingan kajian dan diseminasi informasi secara lebih luas.
Bacaan terkait
Santri yang sempat mengkaji Michel Foucault dan Henri Lefebvre, meski belum tuntas dan mengerti. Kontributor media Brikolase.