Matinya Budaya Membaca, Menilik Masa Depan Buku dan Pola Pikir Kritis bagi Generasi di Era Digital

Brikolase.com – Dunia kita sedang mengalami transformasi besar dalam cara masyarakat memperoleh informasi dan hiburan.

Membaca, yang pernah menjadi fondasi pembentukan pola pikir kritis dan logis, kini berada di ambang kemunduran.

Mitchell Stephens, dalam artikelnya “The Death of Reading : Will a Nation That Stops Reading Eventually Stop Thinking?“ di laman Los Angeles Times, mengungkapkan pandangan mendalam tentang bagaimana menurunnya kebiasaan membaca bisa berdampak signifikan pada budaya dan peradaban modern.

Budaya Membaca dan Peradaban Modern

Membaca telah lama menjadi jalan utama untuk memahami dunia. Dari buku-buku sejarah hingga novel sastra, aktivitas ini tidak hanya memperluas wawasan, tetapi juga membentuk pola pikir yang kompleks.

Neil Postman, seorang profesor ilmu komunikasi dari Universitas New York, menyebut bahwa membaca mengajarkan kita untuk mendeteksi kontradiksi, memproses informasi secara logis, dan memahami kompleksitas kehidupan.

Namun, budaya membaca kini mulai terkikis. Dalam berbagai situasi sehari-hari, seperti di ruang tunggu atau di pesawat, orang-orang lebih sering terlihat terpaku pada layar televisi, memainkan gim video, atau mendengarkan musik melalui earphone.

Baca juga: Fakta dan Fiksi Bisa Nyambung? Faruk Tripoli: Kalau Pram Tak Curi Koran Tak Ada Novel Bumi Manusia

Buku dan koran, yang dulu mendominasi ruang-ruang ini, semakin jarang terlihat.

Dalam konteks Indonesia, minat masyarakat membaca buku masih terbilang rendah. Dikutip dari laman RRI, UNESCO mencatat indeks minat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Dengan kata lain, hanya 1 orang yang rajin membaca dari 1.000 penduduk Indonesia.

Pada 2016 Central Connecticut State Univesity melakukan riset World’s Most Literate Nations Ranked dan menyebut Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara perihal minat membaca.

Hal ini menjadi kontradiksi lantaran penilaian dari riset tersebut soal infrastruktur yang mendukung membaca di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara Eropa.

Hasil dari skor PISA (Programme for International Student Assessment) yang mengukur tingkat literasi membaca tahun 2022 turut menunjukkan Indonesia berada di peringkat 11 terbawah dari 81 negara yang terdata.

Orang sekarang mungkin banyak yang membeli buku untuk dijadikan pajangan atau hadiah, bukan untuk dibaca.

Penerbit memang terus mencetak lebih banyak buku, dan jumlah toko buku bahkan meningkat. Namun, ini tidak selalu berarti bahwa buku-buku tersebut benar-benar dibaca.

Buku-buku populer yang banyak dibicarakan masyarakat sering kali hanya dibaca secara sepintas, atau bahkan tidak dibaca sama sekali.

Selain itu, membaca surat kabar cetak juga mengalami penurunan drastis. Bahkan beberapa media besar sudah menutup versi cetak terbitannya seperti majalah Gatra dan Koran Tempo. Penurunan ini juga disebabkan karena era digital, di mana berita lebih banyak dikonsumsi melalui layar dibandingkan halaman cetak.

Revolusi Komunikasi dan Dampaknya

Perkembangan teknologi adalah salah satu penyebab utama penurunan budaya membaca.

Komunikasi modern, yang dimulai dengan eksperimen Samuel Morse dan Thomas Edison, telah menciptakan alternatif yang lebih instan untuk membaca, seperti televisi, radio, dan internet.

Televisi, sebagai produk paling berpengaruh dari revolusi ini, telah menjadi pusat hiburan di sebagian besar rumah tangga.

Kehadiran perangkat seperti smartphone dan video game menambah waktu yang dihabiskan di depan layar, menggantikan waktu yang sebelumnya digunakan untuk membaca.

Salah satu aspek yang paling mengkhawatirkan adalah dampaknya pada generasi muda. Banyak anak-anak yang tumbuh tanpa kebiasaan membaca di rumah.

Generasi ini kurang tertarik pada membaca, bahkan untuk koran atau majalah.

Penurunan kebiasaan membaca juga tercermin dalam pendidikan. Meskipun tingkat pendidikan formal meningkat, dengan lebih banyak orang menyelesaikan pendidikan tinggi, kebiasaan membaca tetap tidak berkembang.

Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan modern mungkin gagal menanamkan kecintaan pada membaca.

Masa Depan Budaya Membaca

Meskipun banyak laporan statistik yang suram tentang budaya membaca, ada alasan untuk tetap optimis.

Beberapa pihak percaya bahwa meskipun orang-orang membaca lebih sedikit buku secara mendalam, jumlah total pembaca sebenarnya meningkat.

Perpustakaan umum juga melaporkan peningkatan jumlah peminjaman, meskipun sebagian besar melibatkan media seperti CD dan video selain buku.

Beberapa individu dan kelompok bahkan berusaha menghidupkan kembali budaya membaca.

Contohnya adalah gerakan “slow reading,” yang mendorong orang untuk menikmati buku dengan kecepatan yang lebih lambat dan lebih mendalam.

Selain itu, kemunculan klub atau komunitas membaca di masyarakat juga memberikan harapan akan kembalinya kebiasaan membaca sebagai kegiatan sosial dan intelektual.

Dalam dunia yang semakin tergoda oleh hiburan instan dan komunikasi visual, budaya membaca menghadapi tantangan besar.

Namun, penting untuk diingat bahwa membaca bukan sekadar aktivitas.

Ini adalah jalan untuk memahami kompleksitas dunia, mempertajam pola pikir, dan membangun peradaban.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Mohammad Hatta, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku karena dengan buku aku bisa bebas.”

Tantangan kita saat ini adalah memastikan bahwa generasi mendatang tidak kehilangan hubungan penting ini dengan buku demi membangun pola pikir yang mendalam serta kritis di masa depan.***