Kota adalah kumpulan dari pemikiran. Mulanya ia adalah tanah tak berpenghuni. Kemudian manusia datang, berpikir, dan membangun. Mulailah tanah itu dijejali bangunan yang lahir dari pemikiran manusia yang menetap di sana. Hasil pemikiran dari masa lampau digunakan untuk menciptakan sekarang, dan yang sekarang berancang-ancang membangun yang depan. Begitu seterusnya hingga terbentuk kota.
Tanah tak berpenghuni sebenarnya memiliki penghuni yang tak kasat mata. Mereka adalah hantu-hantu yang terlebih dahulu berdiam di sana. Alasan kehadiran mereka tidak sama dengan kehadiran manusia. Mereka bisa saja tersesat setelah mati dan menyelesaikan urusan yang belum terselesaikan di dunia sambil menunggu hari penghakiman (Siegel, 2006: 114).
Manusia dan hantu kemudian hidup berdampingan. Karena berdampingan, mereka kadang saling menyeberangi batas yang telah ditetapkan oleh ilmu pengetahuan dan terjadi perdebatan. Hal yang paling sering menyebabkan mereka berdebat adalah ketika terjadi pembangunan. Guna menghindari perdebatan berlarut-larut, kota kemudian dibagi menjadi dua. Tempat hunian manusia dan “tempat jin buang anak” yang berasosiasi pada tempat yang masih mungkin dihuni manusia tapi memiliki resiko perdebatan dengan para hantu yang sangat besar.
Pola pembagian tersebut terjadi di setiap kota di Indonesia. Baik di kota megapolitan atau di Polewali Mandar, baik sejak masa 27 provinsi sampai menjadi 33 provinsi, bahkan di kota tempat saya tinggal sekarang, Purwokerto. Di sini manusia tengah gencar-gencarnya melakukan unjuk kekuatan melalui ilmu pengetahuan dan pembangunan guna menyingkirkan hantu-hantu.
Yang Tak Kasat Mata dan Pembangunan di Purwokerto
Seperti kebanyakan kota, Purwokerto juga memiliki “tempat jin buang anak”. Orang Banyumas menyebutnya bulak[1]. Persebaran bulak di Purwokerto tersebar di wilayah utara-timur, kecamatan Baturraden dan kecamatan Sumbang.
Manusia melalui ilmu pengetahuan menganggap bulak sebagai hunian hantu-hantu. Dengan keadaan demikian sudah pasti wilayah di dua kecamatan tersebut disesaki dengan cerita-cerita hantu. Soni seorang warga Puri Banteran bercerita bagaimana di awal perumahannya berdiri para warga terbiasa bertemu dengan hantu-hantu. Begitu pula dengan Descond yang kerap mengunjungi rumah kakaknya di Prompong Indah.
Puri Banteran tadinya adalah tempat pemotongan hewan. Menurut Soni, hal itu adalah salah satu faktor yang membuat hantu-hantu berkumpul di perumahannya, selain mitos mengenai pohon besar di utara perumahan yang dipercaya sebagai gerbang menuju dunia hantu. Begitu juga dengan Prompong Indah yang tadinya merupakan bulak yang ditumbuhi pohon besar yang dipercaya sebagai tempat tinggal para kuntilanak.
Pelan-pelan dua kecamatan tersebut mulai dijamah oleh ilmu pengetahuan manusia yang baru: pemanfaatan setiap jengkal tanah untuk keuntungan kapital sebesar-besarnya. Perumahan-perumahan mulai dibangun di sana. Di Kecamatan Sumbang salah satu perumahan tertua adalah Puri Banteran yang terletak di Desa Banteran yang dibangun mulai tahun 2008. Sedangkan di Kecamatan Baturraden salah satu perumahan tertua adalah Prompong Indah di Desa Kutasari yang dibangun mulai tahun 2009.
Sejak 2012 sampai sekarang, terhitung ada dua perumahan baru di sepanjang arah utara Desa Banteran yaitu Sumampir Residence dan Ciberem Indah. Sepanjang arah utara Desa Kutasari lebih parah lagi. Terhitung ada empat perumahan baru yang sedang dibangun yaitu Bale Prompong, Casa Royal, Mutiara Residence, dan Amira Town House. Wilayah-wilayah yang tadinya menjadi hunian hantu-hantu kini mulai dijamah oleh manusia.
Sejak pembangunan perumahan besar-besaran, hantu-hantu mulai tersingkir. Di Puri Banteran, Soni menceritakan bahwa pada hari-hari tertentu sesosok perempuan datang dan menangis di halaman belakang rumahnya. Karena kerap mendengar suara tangisan, Soni berinisiatif untuk menghubungi seorang temannya yang mampu berkomunikasi dengan hantu-hantu. Dari temannya, ia menemukan fakta bahwa hantu tersebut tidak bermaksud mengganggu melainkan menangisi rumah tinggalnya yang kini ditempati manusia.
Tak hanya itu, Soni juga menceritakan hantu perempuan yang mampir dan berkeliling di perumahannya, menampakkan diri kepada warga yang tengah ronda, dan berhenti di depan masjid perumahan lalu terbang menghilang. Perempuan itu juga hantu yang rindu pada rumahnya yang tergusur.
Berbeda dengan hantu di Puri Banteran yang cenderung sedih, hantu di Prompong Indah lebih “bersahabat” dan “gemar bercanda”. Descond menceritakan hantu yang paling sering muncul di perumahan kakaknya adalah kuntilanak yang berasal dari sebuah toko barang antik di sebelah perumahan. Kuntilanak ini gemar berkeliling di perumahan dan menjalin “persahabatan” dengan satpam perumahan.
Ia pernah mendengar cerita lucu bahwa satpam perumahan memergoki si kuntilanak tengah melamun di pohon besar di depan perumahannya. Si satpam kemudian bertanya apa yang sedang dilakukannya di situ? Kuntilanak itu menjawab bahwa ia menyingkir karena di dunianya sedang terjadi keramaian berupa hajatan pernikahan hantu. Dikatakannya pula, di dunia hantu hajatan diikuti dengan “mbaranggawe”[2] seperti di dunia manusia.
Kemana Para Hantu Pergi?
Pada dasarnya manusia adalah pencipta ilmu pengetahuan yang memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah (Lehrer, 1990: 7). Dari ilmu pengetahuan manusia menciptakan pemikiran mengenai hantu-hantu. Mulai hantu ciptaan Hamlet sampai hantu yang tampil dalam bentuk bintang adult video dalam film-film hantu Indonesia. Tak cukup sampai di situ, manusia juga menciptakan asal muasal hantu, cara berkomunikasi, sampai cara mengusirnya.
Dengan kemampuan demikian, manusia memiliki otoritas untuk menciptakan sekaligus meruntuhkan kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Dahulu hantu-hantu diciptakan manusia sebagai pembatas tindakan dan norma-norma dalam bertindak sehingga manusia memiliki batasan. Sekarang manusia mengembangkan ilmu pengetahuan baru: pemanfaatan setiap jengkal tanah untuk keuntungan kapital sebesar-besarnya. Maka, hal pertama yang harus mereka lakukan adalah menghapus ilmu pengetahuan lama dan menggantikannya dengan yang baru.
Ilmu pengetahuan didasarkan pada terpenuhinya tiga unsur: kebenaran dari suatu kondisi, penerimaan atas suatu kondisi, dan justifikasi terhadap suatu kondisi (Ibid). Hantu-hantu yang sebelumnya diciptakan untuk menimbulkan ketakutan sehingga tercipta batasan-batasan, kini runtuh oleh ketakutan pada tidak lakunya perumahan yang dibangun secara besar-besaran yang berujung pada macetnya perputaran kapital dalam sebuah investasi. Ketakutan atas hal tersebut telah memenuhi tiga unsur ilmu pengetahuan.
Apabila di kemudian hari kota-kota menjadi terlalu terang, padat, dan disesaki bangunan-bangunan, maka hal itu adalah hasil dari otoritas manusia dalam menggunakan ilmu pengetahuan. Hantu-hantu akan benar-benar hilang karena epistemologi mereka yang kembali ke dunia dengan alasan untuk menyelesaikan sesuatu selepas mereka mati, telah dihapus oleh ilmu pengetahuan baru. Lagi pula sejak kapan kota butuh hantu-hantu? Bukankah perumahan-perumahan dan bangunan-bangunan jauh lebih dibutuhkan oleh kota?
Referensi
[1] Bulak dalam bahasa banyumasan berarti daerah yang masih berupa tanah kosong dengan rerumputan tinggi yang rimbun dan minim penerangan.
[2] Mbaranggawe adalah upacara hajatan pernikahan dalam bahasa banyumasan di mana para tetangga hadir dan turut meramaikan hajatan tersebut.
Aktif di portal kolektif heartcorner.net. Kini tinggal di Purwokerto dan menjadi pecandu Black Metal. Kontributor media Brikolase.