Brikolase.com – Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Hilmar Farid, menyatakan ada beberapa perbedaan mendasar antara strategi kebudayaan Indonesia dan Korea Selatan terutama dalam mengembangkan dan mempromosikan kebudayaan.
Korea Selatan dikenal secara global dengan industri pop-nya, terutama melalui K-pop yang telah mendunia. Hilmar Farid menilai bahwa meskipun ada dorongan untuk mengikuti jejak Korea Selatan, Indonesia memiliki potensi dan jalur yang berbeda.
“Kita harusnya ngikutin Korea (Selatan), kayaknya bukan itu trajektorinya deh. Mereka pop ya, global pop jangan dilawan udah deh ya. Jangan mimpi kita mau bikin BTS Indonesia dan segala macam gitu,” kata Hilmar Farid, dikutip dari kanal YouTube Malaka Project.
Ia menjelaskan bahwa mengikuti model K-pop secara langsung mungkin bukan strategi yang paling efektif untuk Indonesia. Hilmar Farid justru menekankan pentingnya memanfaatkan keragaman budaya dan kekayaan lokal Indonesia sebagai kekuatan utama.
“Keragaman yang begitu ekstrem yang kita miliki mungkin trajektorinya bukan masuk ke dalam satu global industri dan satu gitu ya,” ujarnya.
Baca juga: Siapakah Stuart Hall? Tokoh Pelopor Kajian Budaya
Hilmar Farid mencontohkan industri makanan herbal dan obat-obatan tradisional yang dapat menjadi bagian dari strategi kebudayaan Indonesia. Pengetahuan lokal tentang tanaman yang beragam bisa masuk ke berbagai aspek mulai dari gaya hidup hingga industri.
Di sisi lain, Hilmar Farid mengidentifikasi tantangan yang dihadapi Indonesia dalam memilih dan mempromosikan kuliner atau budaya yang akan dikenalkan secara internasional karena sangat beragam.
“Begitu kita nentuin misalnya soto, oke soto mana nih,” ungkap Hilmar Farid yang menenankan masih terdapat kebingungan dalam menentukan varian mana yang akan dipilih dan dipromosikan secara konsisten ke dunia internasional.
Mengacu pada pengalaman Thailand dan Jepang, Hilmar Farid mencatat bahwa kedua negara tersebut telah berhasil memasarkan kuliner mereka secara global melalui strategi yang sistematis. Thailand, misalnya, telah sukses mempopulerkan tomyam dengan melibatkan maskapai Thai Airways yang mengirim bumbunya ke pasar global. Begitu juga dengan Jepang, melalui ramen, yang telah menciptakan daya tarik global yang besar.
Hilmar Farid juga menyoroti perlunya pendekatan pragmatis terhadap nilai budaya. Ia mengakui bahwa tidak semua budaya memiliki nilai yang sama dalam pandangan global dan bahwa mungkin perlu adanya pengakuan terhadap perbedaan dalam nilai dan daya tarik antarbudaya.
“Ada inferioritas, ada superioritas antarbudaya satu sama lainnya,” ujarnya.
Hilmar Farid mendorong agar Indonesia lebih fokus pada kekuatan internalnya dan memanfaatkan keragaman budaya yang ada untuk menciptakan strategi yang unik dan berkelanjutan dalam memperkenalkan kebudayaan Indonesia ke dunia internasional.***
Bacaan terkait
Pemred Media Brikolase
Editor in chief
Email:
yongky@brikolase.com / yongky.g.prasisko@gmail.com