Memoar Pulau Buru: Berhenti Mengelola Negara dengan Kejahatan

Hersri Setiawan, alumni FISIPOL UGM yang selama sembilan tahun dibuang dan mendekam di Pulau Buru, Maluku, sebagai tahanan politik (tapol). Ia bersama beratus-ratus temannya, dosen dan mahasiswa UGM, hilang dan tidak kembali, menjadi korban peristiwa 65. Pada 11 Maret 2016, 51 tahun kemudian FISIPOL UGM memberi penghargaan Inspirasi Perjuangan HAM kepada karya-karya Hersri Setiawan. Ia seorang penulis buku dan jurnalis yang gigih mengupayakan pengungkapan kebenaran, rehabilitasi, serta rekonsiliasi peristiwa 65 yang merenggut nyawa anak bangsa yang tidak sedikit.

Adapun buku-buku Hersri Setiawan yang bercerita tentang pengalamannya sebagai tapol di Pulau Buru, antara lain: Humoria Buruensis (1987); Aku Eks-Tapol (Galang Press, 2003a); Kamus GESTOK (Galang Press, 2003b); Diburu di Pulau Buru (Galang Press, 2006); dan yang terbaru Memoar Pulau Buru I (Gramedia, 2015).

Seperti yang diutarakan oleh Budi Irawanto dalam makalahnya yang disampaikan pada Diskusi Buku Memoar Pulau Buru: Sejarah Kemanusiaan dan Melacak Pengetahuan Bagi Kaum Muda di Gedung Seminar FISIPOL UGM, bahwa memoar bukanlah sekadar pengakuan atau dongengan, melainkan sebentuk narasi yang bergulir dan dikontrol oleh gagasan tentang ‘diri’ dengan cara menyulih bahan mentah yang bersumber dari hidup menjadi kearifan. Narasi ini bisa menjadi pengetahuan sekaligus perspektif alternatif terhadap sejarah yang selama ini –dan cenderung selalu- ditulis oleh para ‘pemenang’ (penguasa).

Peristiwa 65, lebih dari sekadar peristiwa politik. Ia peristiwa kemanusiaan di mana ada ratusan ribu anak bangsa dipisahkan dari ibunya, dipisahkan dari tanah kelahirannya, dan direnggut kemanusiaannya. Selama setengah abad peristiwa itu menghantui bangsa Indonesia, terutama penguasa negeri ini. Implikasi besar dari peristiwa tersebut ialah kehidupan panjang, 50 tahun, yang selalu dibayang-bayangi ketakutan. Ketakutan akan perbedaan pandangan politik, ketakutan akan perbedaan agama yang dianggap tak jelas, ketakutan pada kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender), serta ketakutan pada banyak hal lainnya.

“Hersri, melalui buku ini menghadirkan ketakutan tersebut di tengah-tengah kita. Dan melalui buku ini pula ia mencoba mengikis ketakutan-ketakutan yang masih bersemayam secara kolektif pada hidup kita,” ujar Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Hilmar menambahkan, kepada generasi mudalah bangsa ini menumpukan harapan. Anak muda yang tidak hidup di era Orde Baru, anak muda yang mampu membuka selubung sejarah, membongkar ketakutan yang ditimpakan kepada kaum tua, kaum pendahulu mereka. Seperti yang diterangkan Bung Karno, membangun kepribadian dalam kebudayaan. Ialah dengan berani mengenal diri sendiri. Membebaskan pikiran untuk membentuk imajinasi tentang diri sendiri. Melihat dunia dengan pengalaman dan terminologi sendiri. Bukan diri yang didikte oleh ketakutan demi ketakutan yang membelenggu. Pembebasan adalah kunci utama untuk membangun negeri ini.

Memoar Pulau Buru, bagi Roichatul Aswidah, Komisioner Komnas HAM, melampaui soal melacak pengetahuan. Buku ini ialah bentuk penolakan, bentuk ketidak-tundukkan pada kejahatan Orde Baru yang menghantui selama 50 tahun. Orde Baru melakukan kejahatan kepada anak bangsanya sendiri secara terstruktur dan dilegalkan.

“Ada surat perintah dan ada struktur organisasi negara yang melakukan kejahatan ini secara sistematis, meluas, dan menjadi norma. Oleh karena itu, Komnas HAM menyebut tragedi ini sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujarnya.

Kejahatan dan pelanggaran HAM pasca peristiwa 65 terus terjadi dan memakan korban puluhan ribu jiwa. Seperti peristiwa Talangsari, Tanjung Priok, Trisaksi, Mei 98, Petrus, hingga persoalan kemanusiaan yang terjadi di Aceh dan Papua. Negara ini, kata Roichatul, mesti berhenti dikelola dengan cara-cara kejahatan.

Penolakan atas narasi sejarah yang dibangun Orde Baru secara sepihak juga diutarakan oleh Naomi Srikandi, seorang seniman teater dan aktivis perempuan. Tak dipungkiri, sulit bagi anak muda yang tumbuh tidak di era Orde Baru untuk membayangkan peliknya kehidupan politik dan sosial pada masa tersebut. Baginya, sebagai orang muda yang baru belajar tentang sejarah, cara terbaik ialah ikut terlibat secara personal dengan cerita sejarah yang dibaca atau dipelajari.

“Saya ikut terlibat dalam cerita Pak Hersri di Pulau Buru. Jika hanya membaca, saya tidak mendapatkan apa-apa. Melalui buku ini saya mengasah kemanusiaan saya,” ucap Naomi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *