Para peneliti kajian kodikologi mungkin sudah tidak asing dengan istilah don’t judge a book by its cover. Pernyataan itu seperti mempunyai makna negatif secara subjektif. Seolah, bagi penulis buku tidak ingin bukunya dinilai dari sisi luarnya saja. Idiom tersebut dijadikan kata kunci pembahasan kuliah umum yang disampaikan oleh Dr. Annabel Teh Gallop berjudul Judging A Book By Its Cover: Jilidan Naskah sebagai Unsur Penting Kajian Kodikologi. Annabel berpendapat bahwa idiom itu dalam pengertian kodikologi mempunyai sudut pandang positif jika menilai sebuah naskah dari sampulnya. Cover naskah dapat memberikan keterangan asal-usul, usia buku, motif cover khususnya buku atau naskah nusantara. Disela-sela kedatangannya ke Indonesia, selain memberikan kuliah umum di Universitas Gadjah Mada, Annabel juga menyelesaikan proyek digitalisasi naskah-naskah keraton Yogyakarta yang dipelopori oleh Peter Carey.
Proyek tersebut berkaitan dengan peristiwa Geger Sepehi, bahwa pada tahun 1812 pasukan Inggris di bawah pimpinan Thomas Stamford Raffles melakukan penyerbuan pada Keraton Yogyakarta. Menurut Peter Carey pasukan Inggris mengalahkan pasukan keraton dengan waktu yang sangat singkat yaitu, dua jam. Akibat kekalahan tersebut, seluruh isi yang ada di keraton pusaka dan harta diambil oleh Inggris. Etika perang waktu itu barang-barang seperti emas, uang, dan yang berharga lainnya dibagi-bagi kepada prajurit-prajurit dan tentara. Etika itu, menurut Annabel, adalah hal yang biasa untuk memberi semangat dan bonus agar prajurit suka mengorbankan nyawanya ketika berperang.
Tetapi untuk pegawai sipil, Raffles sebagai pimpinan perang dan bawahannya John Crawfurd yang menjabat sebagai residen Yogyakarta, serta Colin Mackenzie ketua insinyur tentara Inggris di Jawa, ketiga tokoh tersebut sangat tertarik dengan sejarah Jawa. Ketertarikannya itu membuat naskah-naskah yang ada di perpustakaan keraton juga mereka ambil. Raffles mengambil dua naskah dan sisanya diberikan kepada Crawfurd dan Mackenzie. Naskah atau buku yang dibawa kedua tokoh tersebut disimpan di perpustakaan nasional Inggris, British Library.
Peristiwa tersebut menghasilkan sebuah proyek digitalisasi 75 naskah keraton Yogyakarta yang bisa diakses secara luas dan penuh di internet. Proyek itu didanai oleh S P Lohia, seorang warga negara Indonesia keturunan India. Hingga saat ini dari digitalisasi 75 naskah, sudah menghasilkan kurang lebih 30.000 gambar dan dapat diakses pada situs British Library dan website Keratonjogja, yang diresmikan pada 7 Maret 2019 lalu oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X. Peresmian itu bersamaan dengan International Symposium on Javanese Studies and Manuscripts of Keraton Yogyakarta yang diadakan dalam rangka 30 tahun tahta Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam hitungan masehi. Sekaligus diserahkannya bentuk digital naskah-naskah Keraton Yogyakarta yang telah 207 tahun berada di Inggris.
Proyek ini membutuhkan waktu yang cukup lama karena proses pengidentifikasian naskah-naskah yang berasal dari Jogja tidaklah mudah. Sebab di perpustakaan nasional Inggris banyak sekali naskah-naskah Jawa yang bukan hanya dari Yogyakarta. Annabel menerangkan bahwa ada katalog yang cukup lengkap yang disusun oleh M. C Ricklefs dan P. Voorhoeve yang berjudul Indonesian Manuscripst in Great Britain 1977. Katalog itu berisi 1.200 manuskrip dalam berbagai bahasa nusantara terutama dalam bahasa Aceh, Bali, Batak, Bugis, Jawa, Makassar, Melayu, dan Jawa Kuno.
Katalog manuskrip tersebut diterbitkan kembali pada 2014 dan dinilai cukup lengkap. Hampir semua koleksi perpustakaan yang ada di Inggris, tidak hanya koleksi yang ada di British Library. M. C Rickfles adalah sejarawan dan penanggung jawab proyek digitalisasi naskah-naskah yang berasal dari Yogyakarta. Ia menandai beberapa naskah dalam bukunya yang berasal dari Yogyakarta dengan tiga kategori, dengan metode kodikologi dan iluminasi. Naskah yang mungkin dari Yogyakarta diberi tanda tanya, tanda satu centang diyakini dari Yogyakarta, dan tanda dua centang yang berarti tentu atau kemungkinan diambil orang Inggris. Ketiga kategori itu di perpustakaan British Library ditemukan enam naskah yang mungkin berasal dari Yogyakarta, sembilan naskah diyakini berasal dari Yogyakarta dan 61 naskah yang tentu atau mungkin diambil orang Inggris.
Kendala saat mengidentifikasi naskah Yogyakarta tersebut, salah satunya, dengan kondisi naskah sudah tidak asli lagi. Sebanyak 21 naskah babad koleksi John Crawfurd yang ada di British Library dan sekitar 40 naskah di antaranya terdapat naskah primbon, catatan-catatan pribadi tanpa iluminasi, dan sisanya ada dikoleksi oleh Colin Mackenzie. Dan sekitar delapan naskah Jawa dari koleksi Mackenzie tersebut dijilid kembali setelah diambil dari Yogyakarta menjadi tiga buku. Mackenzie berada di Jawa hanya dua tahun dari tahun 1811-1813 dan kembali ke markasnya di Calcutta, India. Calcutta adalah tempat markas besar Inggris di India yang juga menjadi tempat penjilidan ulang naskah-naskah yang sudah didapat dari Jawa. Berbeda perlakuan, naskah-naskah yang ada di tangan Crawfurd diduga dijilid ulang dengan gaya barat namun menyerupai model penjilidan Jawa, yang kemudian dijual kepada British Museum pada 1842.
Penjilidan Naskah Nusantara
Bentuk cover, jenis kertas, dan model jahitan cukup membantu dalam mengindentifikasi asal usul sebuah naskah nusantara. Setiap daerah di Jawa mempunyai karakter masing-masing. Sumber rujukan tentang penjilidan naskah yang dapat diakses adalah karya-karya dari M. Plomp yang berjudul Traditional Bookbindings from Indonesia: Material and Decoration. Plomp mengidentifikasi gaya kedaerahan dalam jilidan kulit naskah nusantara berdasarkan pola motif. Ia juga mengidentifikasi dan menggambarkan lima gaya jilidan kulit naskah nusantara dalam koleksi Perpustakan Universitas Leiden. Beberapa naskah nusantara tersebut, yaitu Central Java 1815-1830, Bangkalan, Madura 1891-1892, Banten in West Java, Late 17th-Early 18th Century, Palembang on the East Coast of Sumatra, Early 19th Century, Minangkabau Area of West Sumatra 1800-1870.
Selain M. Plomp, ada juga karya Karin Scheper yang telah dianugrahi De La Court Award pada 2016 oleh Akademi Seni dan Sains Kerajaan Belanda untuk studinya pada tradisi pejilidan buku di dunia Islam. Ia menulis buku tentang teknik penjilidan buku Islam pertama. Karyanya didedikasikan untuk pengembangan teknik tradisi penjilidan buku di Indonesia. Berdasarkan penilaian oriental yang luas dari koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, berbagai teknik penjahitan, konstruksi, dan penerapan bahan penutup dijelaskan dengan sangat rinci. Analisis komparatif dari risalah bersejarah pada penjilidan buku memberikan wawasan lebih lanjut ke dalam pembuatan buku Islami. Selain itu, ditunjukkan bahwa variasi waktu dan tempat dapat diidentifikasi dengan bantuan bahan khas sesuai karakteristiknya.
Kedua rujukan tersebut mempunyai perbedaan metodologi. Karin seorang pelestari atau saintis yang sepenuhnya berdasarkan pada teknik penjilidan naskah atau buku. Annabel menegaskan dalam buku Karin terbitan Brill, ada satu bab mengulas penuh tentang Asia Tenggara dan harganya cukup mahal. Sedangkan Maria lebih pada art of historycal design, iluminasi, tata cara grafis, dan kesenian pada naskah. Dari pola penjilidan dan jenis kertas dapat diketahui asal usul suatu naskah. Seperti karakter naskah Minangkabau pada cover yang menggunakan cat di antara pola yang sudah dibentuk.
Berbagai teknik digunakan dan dikembangkan untuk mengetahui seluk beluk naskah lama dari berbagai unsurnya. Meski demikian, dalam proyek digitalisasi ini, bagaimana dengan nasib sastra daerah dan sastra lisan jika dilihat dalam kajian kodikologi atau tekstologi pada ilmu filologi? Dan bagaimana dengan tantangannya di mana kedua sastra tersebut terus berkembang dari waktu ke waktu?
Penulis: Fahmy Hilmy Abdillah
Penyunting: Adek Risma Dedees
Gambar depan: Bratayuda kawi miring
Sumber: https://blogs.bl.uk/asian-and-african/2018/09/15000-images-of-javanese-manuscripts-from-yogyakarta-now-online.html
Bacaan terkait

Pegiat sastra dan budaya. Alumni Sastra Indonesia, Universitas Jember