Absennya Aktivis dan Masyarakat Sipil dari Proyek Penulisan Sejarah Indonesia, Akar Penyingkiran Sejak Zaman Kolonial

Ilustrasi proyek penulisan buku Sejarah Nasional Indonesia (Freepik/ Pirate artifacts arrangement still life)

Brikolase.com – Akhir Juli 2025 lalu , dua lembaga Sajogyo Institute dan Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI), menyatakan penolakannya terlibat di diskusi publik dalam proses penyusunan Buku Sejarah Indonesia Tahun 2025 oleh Kementerian Kebudayaan.

Dalam surat undangan yang diterima kedua lembaga itu, Kementerian Kebudayaan menyebutkan bahwa penyusunan buku Sejarah Nasional Indonesia ini melibatkan akademisi terkemuka dan akan memperkaya khazanah sejarah nasional.

Namun justru di sinilah letak persoalannya. Sejarah yang hanya ditulis oleh akademisi kursi malas (armchair academic) di menara gading, tanpa partisipasi organisasi masyarakat sipil (OMS) dan scholar activist, berisiko menjauh dari nilai-nilai kebangsaan, keadilan, maupun kemanusiaan.

Padahal, para scholar activist dan organisasi masyarakat sipil adalah pihak yang selama ini berjuang sekaligus mendokumentasikan bukti-bukti pelanggaran HAM 1965, termasuk rudapaksa massal terhadap perempuan Tionghoa.

Mereka juga lebih dekat dengan data primer seperti para korban dan bersentuhan langsung dengan fakta di lapangan.

Penolakan Sajogyo Institute dan AAI untuk terlibat dalam diskusi publik menyiratkan bahwa proyek ini berjalan dengan prinsip “sosialisasi”, bukan “partisipasi” karena digelar tidak disertai dengan pembagian rancangan (draft) buku, alokasi waktu yang sempit untuk diskusi, dan absennya keterlibatan OMS sejak awal proses penulisan.

Bahkan organisasi yang selama ini intensif meneliti sejarah rakyat dan pelanggaran HAM berat tidak pernah diajak duduk bersama.

Absennya Tradisi Sejarah Kritis

Menteri Kebudayaan Fadli Zon memang secara gamblang menegaskan bahwa proyek penulisan sejarah ini dikerjakan oleh sejarawan, bukan politisi apalagi aktivis.

Artinya, memang sejak awal aktivis sengaja dieksklusikan.

Aktivis dari kalangan masyarakat sipil tampaknya dianggap memiliki muatan politis dan ideologis sehingga menghasilkan pengetahuan yang tidak objektif.

Padahal mereka juga ada yang lahir dari tradisi akademik, belajar hingga ke perguruan tinggi dan tentu pula melakukan penelitian ilmiah namun mereka tak mau lari dari tanggung jawab sosial.

ALSO READ  Apa Itu Teori Kuda Mati? Proyek Gagal yang Terus Dipertahankan, Ini Cara Mengatasinya

Mereka juga dikenal dengan istilah scholar activist.
Di beberapa negara, terutama yang menganut tradisi sejarah kritis seperti Amerika Latin, Jerman, dan Afrika Selatan pasca-apartheid, sebutan scholar-activist biasa dalam kehidupan sosial akademik.

Mereka adalah akademisi yang tidak menjauh dari pergulatan sosial, hadir di tengah masyarakat, mendokumentasikan sejarah dari bawah, hingga menantang narasi resmi negara.

Di Inggris, ada sejarawan Eric Hobsbawm yang terlihat keberpihakan etisnya dalam menulis sejarah ekonomi, sosial, dan kelas pekerja dengan sikap kritis terhadap kekuasaan dan kapitalisme.

Di Amerika Serikat, ada akademisi cum aktivis perempuan, Angela Davis, profesor yang menulis tentang kedtidakadilan perempuan, kelas dan ras.

Ada pula professor sejarah cum aktivis sosial, Howard Zinn, yang tak meninggalkan isu ketidakadilan ras dan kelas dalam penulisan sejarah.

Di Indonesia, kita pun juga punya nama-nama seperti Y.B. Mangunwijaya, Arief Budiman, George Junus Aditjondro, maupun Hilmar Farid.

Mereka menempatkan ilmu dalam proses transformasi sosial, bukan sekadar refleksi akademik.

Dalam konteks sejarah Indonesia, merekalah yang menggali ingatan korban, membongkar represi negara, dan menulis narasi alternatif yang sering diabaikan oleh sejarah resmi.

Mereka tidak hanya berpikir, tetapi juga bertindak mengubah keadaan, dan justru karena itulah, pengetahuan yang mereka hasilkan menjadi lebih hidup, etis, dan bermakna secara sosial.

Akar Penyingkiran Scholar Activist dalam Produksi Pengetahuan

Kecenderungan pemerintah untuk mengeksklusikan scholar-activist dari produksi pengetahuan khususnya proyek penulisan sejarah tampaknya tidak bisa dilepaskan dari warisan epistemik kolonial yang masih mengakar.

Dalam tradisi kolonial Belanda, pengetahuan dianggap sah hanya jika berasal dari kalangan elit terdidik dan terlembagakan.

Seorang kawan saya, aktivis berkewarganegaraan Belanda, Christa Noella Wongsodikromo, menuturkan bahwa di Belanda, aktivis sering tidak dianggap serius.

ALSO READ  Tentang Njoto dan Keluarga: Wawancara dengan Svetlana Dayani

Keingintahuan intelektual dan praksis seperti air dan minyak.

Pandangan ini mencerminkan bagaimana rezim pengetahuan kolonial menciptakan hierarki antara akademisi dengan hak istimewa dan pelaku gerakan sosial, yang masih langgeng hingga kini.

Beda kasus dengan di Amerika Serikat (AS), perempuan keturunan Jawa Suriname ini beberapa kali diundang di kampus AS sebagai aktivis ulayat (indigenous).

Ia mengaku di sana kebenaran dari pengalaman seseorang, meski tak bergelar akademik, dihargai karena membantu dalam memahami teori lebih baik.

Mereka paham bahwa aktivisme memainkan peran penting dalam produksi pengetahuan untuk perubahan sosial.

Penyingkiran scholar activist dalam produksi pengetahuan tampaknya turut berakar dari tradisi positivisme, yang dalam sejarahnya disokong kalangan elit ilmuwan lingkaran Wina.

Mereka dikenal mendewakan objektivitas ilmiah dan berusaha mengesampingkan dimensi nilai dari proses pencarian pengetahuan.

Dalam prinsip ini, ilmu dilepaskan dari moralitas, keadilan, dan konteks sosial-budaya.

Pengetahuan dianggap valid hanya jika netral, objektif, lepas dari konteks kekuasaan.

Paham inilah justru yang membuka jalan bagi kooptasi kekuasaan karena kenaifan ilmuwannya.

Pada intinya, proyek penulisan sejarah ini bukan hanya mengeksklusikan scholar aktivist tapi meneguhkan absennya intelektual.

Seorang profesor Palestina-Amerika, Edward Said, berpendapat bahwa intelektual bukanlah sekadar profesional yang ahli di bidangnya, melainkan individu yang mengambil peran publik untuk menyuarakan kebenaran, terutama terhadap kekuasaan.

Fungsi intelektual justru lahir dari keberaniannya mewakili suara-suara yang terlupakan dan disingkirkan, yang sering kali tidak bisa disuarakan dari ruang-ruang seminar akademik semata.

Di proyek penulisan sejarah, siapakah yang menyuarakan isu-isu ketidakadilan, diskriminasi termasuk mereka yang teringgirkan dan jadi korban? Bila tidak ada, intelektual telah (di)absen(kan) dalam proyek ini.***