Brikolase.com – Hadiah Nobel Kedokteran 2025 diberikan kepada Mary E. Brunkow, Fred Ramsdell, dan Shimon Sakaguchi atas penemuan mereka tentang mekanisme toleransi imun perifer (peripheral immune tolerance).
Sistem ini berperan sebagai pengatur penting yang mencegah tubuh menyerang jaringannya sendiri. Mekanisme ini merupakan lapisan kedua dari sistem perlindungan imun, melengkapi “toleransi sentral” yang terjadi di sumsum tulang dan timus.
Menurut tinjauan Meng et al. (2023) dari Imperial College London dan laporan klasik Renz & Herz (1998) dari Humboldt University Berlin, toleransi perifer merupakan jaringan pengendali kompleks yang bekerja terutama pada sel T dan B dewasa, yang menjaga keseimbangan antara perlindungan dan autoimunitas
Apa itu Toleransi Imun Perifer?
Toleransi imun perifer adalah mekanisme yang mencegah aktivasi sel imun terhadap antigen tubuh sendiri atau antigen lingkungan yang tidak berbahaya.
Proses ini terjadi setelah sel T dan B melewati fase seleksi di organ primer seperti timus dan sumsum tulang. Karena seleksi tersebut tidak sempurna, beberapa sel yang “autoreaktif” bisa lolos ke sirkulasi perifer.
Di sinilah sistem toleransi perifer berperan. Ia menghentikan atau menenangkan sel-sel tersebut agar tidak menyerang tubuh sendiri.
Renz & Herz (1998) menulis bahwa toleransi perifer adalah “panel strategi imun untuk mencegah reaksi terhadap protein lingkungan yang seharusnya tidak menimbulkan respons imun,” termasuk makanan dan antigen mikroba yang jinak.
Empat Pilar Toleransi Imun Perifer
1. Anergi (Hyporesponsiveness)
Anergi adalah kondisi di mana sel T menjadi tidak responsif meskipun mengenali antigen. Hal ini terjadi ketika sinyal aktivasi sel T tidak lengkap, hanya menerima “sinyal 1” dari antigen tanpa “sinyal 2” berupa kostimulasi dari sel penyaji antigen.
Tanpa kostimulasi, sel T tidak berproliferasi dan tidak menghasilkan sitokin, sehingga mencegah serangan terhadap jaringan tubuh sendiri
2. Delesi Klonal (Clonal Deletion)
Jika sel T atau B autoreaktif tetap aktif, sistem akan menghapusnya melalui apoptosis. Menurut Chen et al. dan dikutip oleh Meng et al. (2023), delesi klonal terjadi di organ limfoid sekunder seperti kelenjar getah bening dan berfungsi menghentikan respons imun yang berlebihan.
3. Sel T Regulator (Tregs)
Penemuan Shimon Sakaguchi tentang sel T regulator (Treg) menjadi tonggak penting dalam memahami toleransi imun perifer.
Tregs yang mengekspresikan gen FoxP3 berfungsi “mematikan” aktivitas sel T efektor dan mendorong sekresi sitokin antiinflamasi seperti IL-10, TGF-β, dan IL-35. Kekurangan atau mutasi FoxP3 dapat menyebabkan penyakit autoimun berat seperti IPEX syndrome.
4. Sel B Regulator (Bregs)
Selain Treg, Breg juga memegang peranan penting dalam menekan respons imun dengan menghasilkan IL-10, IL-35, dan TGF-β.
Mekanisme ini menjaga keseimbangan antara respons terhadap infeksi dan pencegahan autoimunitas. Menariknya, terapi alergi spesifik terbukti meningkatkan kadar IL-10+ Bregs, yang menandakan pemulihan toleransi.
5. Peran Sitokin Kunci
Sitokin seperti IL-10, TGF-β, dan IL-35 berperan sebagai mediator utama toleransi imun. IL-10 menghambat aktivasi sel T efektor dan mendorong pembentukan Treg.
TGF-β menyeimbangkan diferensiasi sel Th17 dan Treg. Sedangkan IL-35 memiliki efek antiinflamasi kuat dan dapat memicu konversi sel imun menjadi bentuk yang lebih toleran
Pemahaman tentang mekanisme toleransi perifer membuka jalan bagi berbagai inovasi terapi seperti imunoterapi alergi (AIT) yang melatih kembali sistem imun agar tidak bereaksi berlebihan terhadap alergen.
Dalam hal transplantasi organ, induksi toleransi perifer dapat mencegah penolakan tanpa obat imunosupresif berat. Untuk autoimunitas, terapi berbasis Treg menjanjikan untuk penderita lupus, diabetes tipe 1, dan rheumatoid arthritis.
Beberapa tumor mengeksploitasi mekanisme toleransi ini untuk menghindari pengawasan imun, sehingga modulasi jalur ini bisa menjadi target imunoterapi baru bagi pengidap kanker.
Penemuan Brunkow, Ramsdell, dan Sakaguchi tentang toleransi imun perifer adalah temuan penting dalam imunologi modern.
Mekanisme ini tidak hanya menjelaskan bagaimana tubuh membedakan “diri” dan “bukan diri”, tetapi juga membuka pintu untuk terapi yang lebih presisi terhadap penyakit autoimun, alergi, dan kanker.
Sebagaimana disimpulkan Meng et al. (2023), “Toleransi imun merupakan keseimbangan kompleks yang melindungi tubuh dari kerusakan akibat sistem imun itu sendiri, dan pemahaman mekanismenya adalah kunci menuju pengobatan masa depan yang lebih aman dan efektif.”***
Bacaan terkait
Pemred Media Brikolase
Editor in chief
Email:
yongky@brikolase.com / yongky.g.prasisko@gmail.com

