Menyikat Gigi Selepas Makan Siang

Penulis Naked Traveller, Trinity, sewaktu melanjutkan studi di Filipina, bercerita tentang kebiasaan dan kedisiplinan orang-orang muda di Manila dalam merawat kebersihan gigi dan mulut. Lepas jam makan siang, yang namanya toilet pasti penuh dengan para profesional muda-mudi. Mereka berjejal di depan wastafel untuk menyikat gigi mereka hingga bersih. Alasannya sangat masuk akal: mereka tidak ingin siapapun yang berjumpa setelah makan siang berlangsung melihat sisa-sisa makanan masih menempel pada gigi mereka.

Mungkin menjadi biasa ketika sepaket tas kecil berisi perlengkapan kebersihan gigi ada pada masing-masing tas yang mereka bawa. Bisa jadi sama lazimnya dengan perlengkapan kecantikan (make-up) yang dibawa para wanita karir di kota besar. Atau, juga laiknya mukena bagi yang menyempatkan beribadah di sela rutinitasnya. Tetapi, saya tetap tidak habis pikir untuk membawa sikat dan pasta gigi, kemudian melakukan ritualnya di toilet umum. Bagaimanapun juga, kebiasaan ini sudah mengakar di Manila.

Bagaimana dengan di sini, di Indonesia? Di sini lebih mudah dan sederhana. Senjata andalan yang cukup melekat setelah agenda makan (pagi, siang, dan malam) berlangsung: tusuk gigi. Selain tisu, saya kerap melihat tusuk gigi selalu ada di meja makan-meja makan. Dalam ritualnya, terdapat pula kode-kode tertentu dalam membersihkan sela-sela gigi. Hingga timbullah sejumlah anekdot yang berkenaan dengan struktur kelas sosial para pengguna tusuk gigi selepas kegiatan makan berlangsung. Ada tiga macam anekdot mengenai ritus menusuk gigi ini.

Pertama, pengguna tusuk gigi yang menutupi area sekitar mulutnya –biasanya dengan sebelah tangan lainnya- ketika ritusnya sedang berlangsung. Setelah tusuk gigi menjangkau sisa makanan di sela gigi, dibuanglah sisa makanan yang menempel tersebut pada selembar tisu, atau pada apapun asal tidak terlihat orang lain. Ritus ini biasanya dilakukan oleh seseorang yang berasal dari kalangan atas dan memiliki jabatan tinggi.

Kedua, pengguna tusuk gigi yang hanya langsung melakukan ritusnya tanpa menutup-nutupi area sekitar mulutnya. Setelah tusuk gigi menjangkau sisa makanan di sela gigi, diludahkanlah sisa makanan tersebut ke area di sekitarnya –bisa ke belakang, menyerong ke samping, kerap juga ke depan- yang tidak terlihat oleh orang lain. Ritus ini biasanya dilakukan oleh karyawan, pekerja dengan predikat tertentu.

Terakhir, pengguna tusuk gigi yang ketika melakukan ritusnya tidak menutupi mulutnya dan tidak pula mengeluarkan sisa makanan yang tersangkut di sela giginya. Sembari bersandar santai, ritus menusuk gigi diikuti dengan ritus mengunyah kembali sisa makanan tadi. Tidak mengingkari, saya pun menjadi bagian dari penggemar ritus terakhir ini.

Di Indonesia, kegiatan menyikat gigi sehabis makan siang tampaknya tidak begitu akrab, ritus menusuk gigi lebih digemari. Ketidakbiasaan kita menyikat gigi lepas makan siang (atau bahkan makan malam), jika dibandingkan dengan orang-orang di Manila, tentu sangat memungkinkan untuk ditulis dan diargumenkan secara panjang lebar melalui berbagai aspek: kesehatan, kebersihan, kemajuan, kemerosotan, dan seterusnya.

Pada sisi lain, sisa makanan yang masih menempel di sela-sela gigi –apalagi dalam waktu yang cukup lama- disebut jigong (kotoran kuning pada gigi). Jigong ini kerap kali membuat tidak nyaman, baik oleh pemiliknya, maupun oleh orang lain yang memandangnya. Beberapa orang yang saya temui, bahkan teman sendiri, juga berjigong.

Pernah suatu waktu, dalam suasana makan siang yang seru bersama teman-teman di sebuah warung makan serba sambal. Setelah makan, dalam suasana kekenyangan, agak mengantuk, kami berubah menjadi konyol. Membicarakan hal-hal ringan dan sepele dalam keseharian kami sebagai mahasiswa. Salah satunya membicarakan adat berbasa-basi sebelum makan. Tak sengaja saya bertemu pandang dengan potongan kulit cabe yang bertengger pada gigi seri seorang teman. Dari tempat saya duduk potongan merah itu terlihat menempel lekat ketika teman saya bicara dan gelak terbahak. Teman saya terus membual, si cabe tak berkutik, dan saya tak berbuat apa-apa selain ikut terbahak untuk kedua situasi tersebut.

Jika kita bicara etika kesopanan, teman saya tentu sudah melanggar etika tersebut. Pelanggaran terhadap etika terjadi ketika ketidak-sadaran menimpa atas diri. Teman saya tidak sadar, tidak tahu jika gigi serinya yang rapi ‘disabotase’ oleh kulit cabe nan merah menyala. Saya tidak membawa konsep ketidak-sadaran ala Sigmund Freud soal ini. Toh, tragedi cabe merah menyala itu tidak hanya dialami oleh teman saya seorang. Saya sendiri pun juga pernah tertiban, pun agaknya juga dengan anda.

Akan tetapi, ada sebagian orang merasa tidak nyaman ketika mengalami dan berhadapan dengan situasi macam begitu. Karena, persoalan remeh dan di luar kontrol tersebut juga menyangkut dengan ideal-ideal tertentu dalam wacana tata krama bentukan rezim atau zaman. Tata krama keseharian ini, di Indonesia, kerap disangkut-pautkan dengan praktik budaya feodalisme yang menjunjung tinggi standar etis tertentu. Termasuk aturan berisi ragam larangan saat makan yang sejatinya dan khususnya bagi saya amatlah mengekang.

Misal, dilarang menaikkan kaki sebelah ke atas kursi saat makan (kerap disebut seperti monyet makan), dilarang makan sambil mengecap (mengeluarkan suara kunyahan seperti babi makan), hingga dilarang bersendawa sehabis makan (dianggap jorok dan menjijikan). Bentuk-bentuk larangan ini selalu bertujuan mengatur tata cara manusia makan dengan jargon sebagai manusia yang bertata krama, manusia bersopan-santun, hingga manusia beradab.

Deretan jargon tadi ialah proses pendisiplinan terhadap manusia hingga memiliki standarisasi tertentu ketika makan. Standarisasi ini menjadi produk budaya guna menyeragamkan manusia ke dalam satu warna yang sama tanpa mempertimbangkan konteks dan pengalaman kultural seseorang. Padahal, sudah pasti, setiap orang memiliki pengalaman kultural yang berbeda dan tak bisa disama-ratakan begitu saja.

Kembali ke orang-orang muda profesional di Manila yang memiliki kebiasaan menyikat gigi selepas makan siang. Kebiasaan ini adalah bagian dari praktik pendisiplinan dan standarisasi budaya yang mereka anut. Pun, sama halnya dengan ritus menusuk gigi selepas makan oleh orang-orang di negara kita. Orang-orang di Manila dan di Indonesia memiliki kebiasaan yang ‘khas’ di antara mereka soal membersihkan gigi sehabis makan. Persoalannya, orang Manila lebih bersih dan orang Indonesia kurang bersih, tentu hal tersebut di luar tanggung jawab tulisan ini.

Pesan saya, sebaiknya tulisan ini dibaca setelah makan!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *