Melani Budianta: Kurasi Lebih Baik daripada Kanon Sastra

Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) baru-baru ini dihelat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diselenggarakan di Jakarta, 5-9 Desember 2018 lalu. Bidang sastra turut diperbincangkan dalam rangkaian acara KKI melalui forum debat publik bertajuk Kanon Sastra Indonesia: Perlukah? Forum debat tersebut menghadirkan para pembicara antara lain Zen Hae, Faruk H.T., Saut Situmorang, Jamal D. Rahman, dan Esha Tegar Putra. Poin utama dalam diskusi tersebut adalah adanya upaya baru untuk menyusun kanon sastra Indonesia, dengan tim penyusunnya antara lain Zen Hae dan Faruk H.T. Kritik-kritik bermunculan perihal upaya penyusunan kanon tersebut, terutama ditujukan pada penyusunan kanon sebelumnya seperti yang dilakukan oleh H.B. Jassin. Kecenderungan Jakarta-sentris, estetisme, absennya penulis perempuan, serta dominasi modal ekonomi –seperti kasus buku 33 Tokoh Sastra Indonesia- turut mewarnai suara-suara kritis tersebut.

Pada sebuah kesempatan, redaktur Brikolase, Yongky, mewawancarai Prof. Melani Budianta soal kanon tersebut. Sebagai akademisi yang bergelut di bidang kajian sastra perempuan, Prof. Melani memberikan pandangannya soal usaha penyusunan kanon sastra, peran penulis perempuan, dan kritikus sastra. Berikut kutipan wawancara dengan Prof. Melani Budianta.

Bagaimana pendapat Anda tentang upaya penyusunan kanon sastra Indonesia baru-baru ini?

Kalau saya tidak salah, itu upaya dari Dirjen Kebudayaan. Selama ini di sekolah-sekolah, tidak ada sosialisasi mengenai karya sastra. Artinya karya sastra hanya bahasan sekunder dan hanya nama-nama sastrawan itu saja yang dikenal, yang merujuk kanon yang sudah lama. Sebenarnya lebih luas dari itu. Maksud mereka ingin membuat semacam usul karya-karya sastra yang mesti dibaca oleh banyak orang dari tataran SD, sekolah, sampai masyarakat luas. Supaya ini lebih bisa disosialisasikan dan dibawa keluar untuk promosi karya sastra.

Saya sendiri tidak terlalu suka dengan istilah ‘kanon’. Artinya kanon itu semacam seleksi yang sangat terbatas, kalau kita belajar sejarah kanonisasi dari dulu. Kanon itu terbatas pada versi tertentu. Kanon sastra Indonesia dulu versi Balai Pustaka. Versi kolonial. Kalau memang usaha merevisi kanon itu untuk meluaskan. Maka itu oke sih.  Walaupun saya tidak terlalu setuju dengan nama ‘kanon’ itu.

Mungkin saya lebih suka selected works (pilihan karya) seratus atau sekian karya sastra pilihan versi siapa begitu. Kita boleh milih versi A atau versi B. Kita pilih 100 penulis yang menurut versinya baik dan harus dibaca. Menurut saya oke-oke saja. Itu bisa meluaskan tidak hanya terbatas pada kanon. Kelihatannya kalau dari Dirjen Kebudayaan mestinya akan diperluas. Tidak terbatas pada kanon dulu, Balai Pustaka. Dan karya sastra sekarang kan sudah berkembang.  H.B. Jassin kan berhenti pada tahun 1970an-1980an. Setelah itu masih banyak karya sastra yang lain. Jadi bagaimana pilihan-pilihan karya sastra bisa diperluas dan ditambah? Saya kira sih semua yang sifatnya mempromosikan karya sastra oke-oke saja. Walaupun saya tidak suka atau setuju dengan kata ‘kanon’.

Bagaimana Anda, sebagai akademisi yang bergelut di bidang feminis, melihat sastrawan perempuan yang susah masuk kanon?

Menurut saya itu soal selera. Selera itu bentukan manusia sebagai makhluk sosial dan tentu juga ada relasi kuasa. Kadang apakah akses itu sudah dimiliki perempuan? Keterbatasan waktu dan ruang karena konstruksi sosial yang ada pada masyarakat, menurut saya masih perlu terus ada semacam usaha membuka ruang. Kalau dalam bahasa asing affirmative action yaitu tindakan-tindakan untuk memperluas akses, sehingga semua warga apakah itu perempuan, minoritas seksual, orang difabilitas atau siapapun punya akses yang sama untuk menulis, memproduksi, untuk mendapat pembelajaran mengenai literasi. Serta juga dapat mengekspos karya sastra yang cukup. Dan kemudian apakah mereka juga dilihat dan dipantau. Saya kira ruang-ruang itu mesti diperlebar. Caranya antara lain ikut menyertakan penulis-penulis perempuan sebagai editor atau juri. Kemudian mencari secara aktif, bukan pasif. Kalau pasif menunggu. Sedangkan penerbit biasanya memilih orang atau karya yang ada di Jakarta saja. Bagaimana dengan yang di daerah? Jadi memang harus proaktif. Harus mencari keluar. Harus ada orang-orang talent scouting. Orang-orang pencari bakat yang proaktif mencari potensi.

Cara lain bisa juga dengan memperluas kritikus sastra. Dulu kritikus sastra cuma dominan H.B. Jassin. Orang-orang yang kemudian menyeleksi karya sastra sekarang harus diperluas. Orientasinya pendidikan kepada masyarakat. Sehingga tiap anggota masyarakat nantinya bisa menjadi kritikus. Sehingga dia bisa melakukan pemilihan karya. Menyeleksi karya-karya bagus menurut dia. Dengan begitu, ini bisa memperkaya bukan hanya jumlah tapi juga keragamannya. Misalnya ada orang dari Nusa Tenggara Timur atau Bali. Dia bisa melihat di daerahnya yang tak terlihat oleh radar Jakarta. Kita bisa berfungsi sebagai radar-radar. Sehingga bisa menambah koleksi karya menjadi semakin banyak. Dan tentu diperlukan kurator.

Menurut saya, kalau Pak Faruk dan tim berfungsi sebagai kurator, tidak ada masalah. Seorang kurator harus memilih, kalau mereka mau memamerkan karya. Dia tak bisa memamerkan sejuta karya. Dia harus memilih dan memamerkan karya dengan suatu tema. Lalu ditaruh dalam sebuah ruang dengan nama tertentu. Saya pikir yang diperlukan adalah kurasi-kurasi seperti itu. Tapi saya tidak mau kurasinya tunggal. Misalnya kurasi versi Dirjen Kebudayaan ini. Saya lebih senang kurasi tematis. Misalnya pilihan karya sastra dengan tema keluarga dan kematian. Dilakukan kurasi lalu hasilnya dipaparkan. Misal juga topik atau tema budaya patriarki dan tradisi lokal menghasilkan kurasi sastra yang juga berbeda. Saya lebih setuju dengan usaha yang seperti itu. Daripada kanon yang melihat karya yang bagus dan tidak. Lebih baik cara kurasi, yakni bagaimana kritikus sastra sebagai kurator yang kemudian memamerkan karya dengan tema atau topik tertentu.

Penulis perempuan banyak yang mengungkap hal-hal tabu. Menurut Anda bagaimana peluang penulis perempuan dalam hal menulis dan tulisannya dapat diterima di masyarakat?

Sangat bisa. Contohnya seperti Ayu Utami yang malah melonjak sekali. Sampai teman-teman penulis laki-laki merasa agak didiskriminasi. Jadi menurut saya sudah bukan zamannya lagi seperti jamannya N.H. Dini dulu. Kita sudah maju sekali sekarang. Penulis-penulis perempuan banyak sekali muncul. Tapi memang karena saking banyaknya, maka banyak nama yang tenggelam. Sehingga nama yang sudah muncul hanya nama-nama itu saja.

Lalu, karya yang tersuarakan sampai keluar (negeri) itu juga sedikit. Penerbit-penerbit luar negeri itu jarang mendapatkan promosi karya Indonesia dalam bahasa Inggris. Sehingga banyak yang tidak terdengar. Cuma terdengar di Jakarta. Lebih terbatas lagi jika nanti bisa keluar lalu lebih kecil lagi gaungnya. Paling yang keluar cuma nama seperti Pramoedya Ananta Toer, Goenawan Mohammad. Nama-nama itu terus. Jadi kita memang masih harus menembus bermacam lapisan tadi untuk bisa promosi keluar.

Jadi menurut saya, apa yang dibuat oleh Dirjen Kebudayaan itu semua positif asal itu untuk mempromosikan karya sastra Indonesia. Terserah namanya kanon atau apa. Tapi kita tak boleh berhenti di situ. Perlu kurator-kurator lain yang akan meramaikan dunia ini dengan kurasi-kurasi mereka. Pilihan-pilihan karya dengan tema yang beragam. Sehingga banyak orang semakin tahu tentang karya sastra Indonesia. Serta juga harus dengan cara kreatif dan canggih untuk audiens kita genersi milenial. Bisa menyajikan kurasi atau kritik sastra pakai video, yang lebih multimedia.

Bagaimana Anda melihat usaha kelompok-kelompok perempuan yang mempromosikan penulis dan karya perempuan?

Banyak kalangan perempuan yang punya inisiatif. Seperti yang dilakukan oleh Intan Paramadhita dengan mengadakan pelatihan PERIOD. Orang-orang yang mencari bakat dari luar (kalangan perempuan) juga banyak seperti Galang Publishing. Bukan hanya perempuan tapi juga laki-laki dan yang lain. Mereka, para penulis, yang jarang terdengar sebenarnya banyak. Cuma kita tidak bisa menunggu saja. Kita harus mencari. Banyak komunitas-komunitas sastra. Kita cuma perlu memetakan lebih luas saja. Dan melakukan banyak inisiatif-inisiatif kecil-kecil.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *