Joshua Oppenheimer: Senyap Adalah Penegasan Optimisme Rekonsiliasi ’65 (Bagian 2 – Habis)

Baca Bagian 1

KAA: Tokoh utama dalam film Senyap, Adi Rukun dan keluarga, juga termasuk anda sendiri, apakah sudah ada jaminan keselamatan?

JO: Kami mengupayakan yang terbaik dengan memindahkan keluarga Adi Rukun ribuan kilometer dari kampung halamannya dan menjalani kehidupan yang baru. Adi sendiri melihat kepindahannya ini sebagai sebuah kesempatan untuk bisa hidup dengan lebih layak dan kesempatan bagi anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Adi adalah orang berani sekaligus lembut dan sabar. Keberanian Adi sekeluargalah yang membuat saya termotivasi membuat film ini.

KAA: Anda orang Amerika (sebuah negara yang anti-komunis), mengapa justru bikin film yang terkesan “membela” orang-orang komunis di Indonesia? Dua film dengan topik yang sama lagi.

JO: Pertama kali, sebelum saya menjadi warga negara manapun, saya adalah seorang manusia. Saya bisa berganti kewarganegaraan kapan saja saya mau, tetapi saya tidak bisa berganti menjadi sesuatu selain manusia. Kesadaran kemanusiaan ini melampaui batas-batas ideologi, kiri-kanan, dan kewarganegaraan. Stereotip bahwa kalau orang Amerika pasti begini dan kalau orang Indonesia pasti begitu sungguh tidak banyak membantu dalam melihat persoalan dan gagasan yang saya angkat dalam film Jagal dan Senyap.

Anda bisa lihat dengan cukup jelas, stereotip seperti ini, misalnya bahwa orang komunis pasti tak bermoral, tak bertuhan, senang mengklaim atau bertukar istri, layak diberantas, dan seterusnya adalah hal yang mendorong terjadinya rasa permusuhan massal yang kemudian memungkinkan kekerasan massal terjadi serta meluas. Yang justru penting dilihat tetapi sering dilupakan adalah bahwa sebagai warga negara Amerika Serikat, saya bisa mendorong senator Amerika Serikat, seperti Senator Tom Udall, untuk mengajukan resolusi senat yang mendesak pemerintah Amerika Serikat untuk mengakui keterlibatannya dalam pembantaian massal 1965 dan membuka semua dokumen rahasianya mengenai Indonesia pada periode 1960 hingga 1970-an.

Baca, misalnya, Indonesia/US: Seek Justice for 1965-66 Mass Killings atau dengarkan pidatonya di: Tom Introduces Resolution on Reconciliation in Indonesia

KAA: Berapa lama penggarapan film Senyap?

JO: Film Senyap digarap bersama-sama dengan film Jagal. Penggarapannya dimulai sjak 2001 ketika saya mewawancarai pelaku pembantaian massal pertama kali dalam rangka membuat film mengenai gerakan buruh perkebunan pasca-reformasi politik. Walaupun begitu, pengambilan gambar utama dilaksanakan 2010 sampai 2012, bersamaan dengan finalisasi penyuntingan, tetapi sebelum peluncuran film Jagal.

KAA: Komnas HAM menjadikan pemutaran film Senyap sebagai kegiatan Negara dan alat untuk mengingat kembali masa lalu. Apakah film Senyap memang dapat menggambarkan masa lalu? Bukankah ia hanya sekadar representasi? Ini bahkan dipersoalkan oleh guru besar Ilmu Sastra UGM lho…

JO: Guru besar Ilmu Sastra UGM (Universitas Gadjah Mada) atau siapapun yang membicarakan ‘sekadar’ representasi tidak sedang berbicara tentang film Senyap semata. Ia sedang membicarakan semua hal yang kita pahami, semua yang mungkin kita cerna dan kita mengerti lewat media.

Selama kita tidak punya mesin waktu dan mengalami kembali masa lalu itu lagi, selamanya masa lalu akan tersampaikan lewat media yang selalu adalah sebuah representasi. Dan justru di situ problemnya dengan film. Kita hanya bisa memahami masa lalu -yang direkam dalam film sekalipun- sebagai representasi. Film Jagal dengan tegas menolak bahwa film dokumenter bisa merepresentasikan sebuah peristiwa sebagaimana adanya. Sebaliknya, film saya justru secara terbuka menyampaikan bahwa apa yang bisa direkam dalam sebuah dokumenter adalah sebuah representasi sebagaimana ingin diperlihatkan oleh para tokohnya kepada dunia.

Film Jagal justru menekankan pentingnya representasi itu. Saya mereprentasikan sejarah sebagaimana sebuah peristiwa itu direpresentasikan oleh para pelakunya. Sejarah yang anda pelajari dari buku teks resmi di sekolah adalah sebuah representasi juga. Film Pengkhianatan G30S/PKI adalah sebuah representasi juga. Kalau saya representasikan lagi sesuatu yang sudah direpresentasi itu, maka saya membuka lapis demi lapis realitas itu dan membawa anda ke sebuah bentang pengalaman dan pengertian yang belum direpresentasikan sebelumnya. Saya tidak menciptakan sebuah peristiwa baru atau realitas baru, melainkan apa yang saya lakukan lewat film adalah sebuah upaya memperkaya pemahaman kita terhadap berbagai representasi atas realitas yang ada.

Semua yang anda pahami dari media apapun: catatan, dokumen, lukisan, buku, video, TV, radio, cerita ibu anda, peta, gosip, berita koran, blog, dan seterusnya, semuanya adalah representasi belaka. Dan dari sini saya ingin mengatakan bahwa representasi itu penting, bisa jadi itulah satu-satunya yang kita punya, dan tidak selayaknya representasi diawali dengan kata ‘sekadar’.

Komnas HAM memilih film Senyap sebagai bagian dari program kerja sub-Komisi Pendidikan dan Penyuluhan karena tema yang diangkat sesuai dengan tema kerja mereka yaitu rekonsiliasi. Bukan karena film Senyap atau film apapun dapat secara utuh menggambarkan masa lalu.

Sesudah ratusan halaman laporan ditulis, sesudah ratusan buku ditulis, sesudah ratusan film dibuat dan dipublikasi, masa lalu tidak akan pernah secara utuh tergambarkan. Tapi apakah film Senyap dapat menggambarkan masa lalu? Tentu bisa. Cerita bohong semacam penyiksaan jenderal di Lubang Buaya dalam film Pengkhianatan G30S/PKI sekalipun bisa menggambarkan masa lalu. Kebohongan dalam film itu menggambarkan kebutuhan produsernya, rezim Orde Baru pada masa itu. Mereka perlu berbohong mengenai kekejaman Partai Komunis Indonesia untuk menjustifikasi idelogi anti-komunisme yang dibawa Orde Baru.

KAA: Dan, kenapa tiba-tiba, Komnas HAM memutuskan demikian? Jangan-jangan ada agenda politis lain di balik pemutaran film Senyap?

JO: Perjuangan penegakan HAM bukan semata-mata kerja peningkatan kesadaran masyarakat dan upaya penegakan hukum, melainkan juga perjuangan di bidang politik. Agenda politik apa yang saya bayangkan bisa didukung dengan film Senyap? Mungkin sebuah pemutaran film Senyap bagi para anggota parlemen untuk mendorong mereka agar segera membuat lagi undang-undang mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia (KKRI). Mungkin. Ini pun bukan agenda politik sebetulnya, tetapi lebih pada agenda kerja Bidang Pendidikan dan Penyuluhan dengan sasaran khusus saja. Saya tidak tahu agenda politik Komnas HAM RI. Pertanyaan ini seharusnya diajukan kepada komisionernya.

KAA: Anda pernah berharap besar pada pemerintahan Jokowi terkait dengan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk peristiwa ‘65. Tapi tampaknya, Jokowi tak banyak melakukan apa-apa sampai hari ini, terlebih tentang pelarangan pemutaran film-film anda di sejumlah tempat. Apa anda tidak kecewa?

JO: Kalau Jokowi belum banyak melakukan apa-apa dalam bidang penegakan HAM sampai hari ini, yang terlihat jelas bagi saya, itu karena ia barulah jadi presiden selama 100 hari, padahal ia akan menjadi presiden selama 1.826 hari, kalau genap 5 tahun. Saya sadar bahwa ia bukanlah Presiden Abdurrahman Wahid yang bisa tiba-tiba menyatakan permintaan maafnya terhadap korban peristiwa 1965, mengakui keterlibatan organisasinya, Nahdlatul Ulama, dan mengajukan gagasan agar TAP MPR No. 25/1966 mengenai Larangan Penyebaran Ideologi Komunisme dicabut. Lalu, sebelum apapun secara formal dilakukan, Gus Dur terguling. Saya berharap besar pada Jokowi karena pada pemilihan presiden yang lalu ia adalah satu-satunya calon presiden yang mencantumkan janji untuk menuntaskan kasus HAM masa lalu, termasuk peristiwa 1965, dan berjanji menghapus segala bentuk impunitas.

Kita lihat saja dalam periode pemerintahan Jokowi sekarang ini, masih ada 1.726 hari lagi. Adakah yang akan ia lakukan untuk memenuhi dua janjinya itu? Kalau sampai hari terakhir ia tidak berbuat apapun, kita lihat saja para kontestan pemilihan presiden tahun 2019 kelak. Siapa yang kelihatannya paling bisa diharapkan menegakkan hak asasi manusia di Indonesia. Kita dukung dia. Kalau masih Jokowi, kita dukung Jokowi. Kalau ada calon yang lebih baik, kita dukung calon yang lebih baik.

KAA: Terakhir, apa anda tidak tertarik tinggal dan menetap selamanya di Indonesia?

JO: Saya hidup berpindah di tempat yang menurut saya paling menarik. Saya lahir dan besar di Amerika Serikat. Lalu meninggalkannya untuk bersekolah. Saya pindah ke London, Inggris, dan dari situ saya sempat tinggal di Indonesia (keluar-masuk, karena visa mengharuskan saya begitu). Sekarang saya tinggal di Copenhagen, Denmark. Tak tahu untuk berapa lama dan entah sesudah ini saya akan pindah ke mana.

Saya tertarik untuk tinggal dan menetap di Indonesia, sebagaimana telah saya lakukan dalam 11 tahun antara 2001 sampai 2012. Saya belajar banyak. Mulai dari bahasa, kehangatan hubungan antar-manusia di Indonesia, persahabatan, gerakan hak asasi yang mungkin lemah, tapi selalu menolak untuk menyerah dan mati. Banyak hal yang saya dapatkan dari Indonesia.

Tidakkah anda juga tertarik untuk tinggal dan menetap di negeri lain?

Catatan:

Wawancara ini pernah diterbitkan oleh Majalah Pranala Pusham Universitas Islam Indonesia pada edisi pertama. Diterbitkan kembali semata-mata untuk kepentingan kajian dan diseminasi informasi secara lebih luas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *